Sejarah

SMP N I Pati dimulai dari Sekolah SMP Rondole Pati, resmi berdiri tahun 1943 dikenal dengan nama : �Pati Syuu Dai Ichi Shoto Chu Gakko�.
Kepala Sekolah yang pertama adalah Bapak Oentoeng, guru yang paling
senior dalam tim inti pendirian SMP. Baru beberapa bulan pak Oentoeng
jadi Kepala sekolah tiba2 beliau sudah mengajukan pensiun. Alasannya
beliau sudah sepuh dan sudah tua. Menurut informasi, sebenarnya beliau
tidak tahan dengan tekanan dari Pemerintah Militer Jepang. Beliau tidak
tahan dibentak-bentak, dihardik, dikasarin oleh tentara Jepang yang
relatip masih muda dan bengis. Para tentara Jepang tidak menaruh hormat
kepaa Pak Oentoeng.
Sebagai pengantinya, Mathias Soegiyono yang baru berusia 28 tahun
ditunjuk untuk sebagai Kepala Sekolah SMP Negeri Rondole Pati.
Dengan dibantu sahabatnya yaitu bapak Djacaria, ayah dari Soedarto
Djacaria Realino angk 56, pengusaha kapok randu dari Pati. Bapak
Djacaria meminjamkan dengan gratis, gudang kapok untuk dipakai SMP. Maka
SMP Rondole Pati mulai berjalan memakai bangunan setengah jadi,
terletak diatas bukit, dan dinaungi sebatang pohon kapok randu yang
besar dan tinggi. Gedung setengah jadi ini terletak ditengah-tengah
ladang dan sawah yang terbuka, yang panas sekali kalau siang hari dan
berjarak 5 km dari kota Pati.
Kurikulum SMP yang dibuat beliau sesuai instruksi Jepang, sebagai
penjajah saat itu, memasukkan pelajaran ilmu pasti yaitu aljabar dan
ilmu ukur, ilmu hayat, bahasa Indonesia, bahasa Jepang, bahasa Ingris,
sejarah. Para murid juga melakukan kegiatan yang membantu jalannya
perang. Didalam kurikulum ada kerja bakti disawah, diladang, memperbaiki
saluran irigasi, dan membantu memanen padi yang hasilnya sebagian besar
diserahkan untuk kepentingan perang Jepang.
Latihan baris berbaris, latihan peperangan (kyoren), latihan merayap
(hofuku) dan latihan pertempuran merupakan pengganti olah raga. Kelak
kemudian hari semua itu merupakan modal para pemuda untuk menghadapi
perang kemerdekaan.
Murid2 SMP setiap hari dipompa dengan semangat Asia Timur Raya yang
dipimpin Dai Nippon, Bahasa Jepang menjadi idola dan digandrungi. Setiap
tahun SMP Rondole dari Pati mengirim wakil untuk ikut Lomba Pidato
dalam Bahasa Jepang di Jakarta. Latihan pidato dipimpin dan dibimbing
sendiri oleh kepala sekolah sendiri (Pak Giek). Hasilnya luar biasa.
Murid dari SMP Rondole Pati selalu menang. Ada kategori Tzuzuri Kata dan
Hanashi Kata. Sehingga tahun 1944-1945 �Pati Da Ichi Shoto Chu Gakko�
dan Pak Giek selaku Kepala SMP menjadi terkenal di Jawa dan Madura.
Suasana SMP Rondole Pati ditahun 1944. Setiap pagi anak2 murid SMP
Rondole Pati pergi kesekolah dengan naik sepeda yang ban rodanya dari
karet mati, sebagian besar berjalan kaki menyusuri galengan sawah dan
jalan setapak. Didepan Keibodan, yang naik sepeda harus turun, sepeda
dituntun pelan2, kalau berani menaiki sepeda si murid akan ditampar oleh
tentara Jepang.
Kinrohosi merupakan tugas wajib bagi murid laki2 dan perempuan, program
yang digalakkan pada waktu itu adalah menanam jarak. Buah jarak ini akan
diambil minyaknya dan dikumpulkan disuatu gudang, selanjutnya orang
Jepang akan mengangkut minyak jarak ketempat yang dirahasiakan.
Pada saat ada liburan sebulan, semua murid laki2 dan semua guru laki2,
mulai kepala sekolah dan semua guru lainnya, yang masih muda2 diwajibkan
menjalani kegiatan training PETA (Pembela Tanah Air). Mereka dipinjami
pakaian hijau yang berlengan panjang dan bercelana pendek, dipinjami
senjata laras panjang dan topi baja yang besar dan berat. Selama latihan
satu bulan semua peserta PETA tidur dibarak tentara, didipan kayu
beralas tikar pandan bantalnya terbuat dari kapuk yang tipis.
Setiap hari terumpet ditiup sebagai tanda bangun pagi, disambung
olahraga dan kakeysu atau lari2 pagi. Istirahat hanya sekejap disambung
dengan memeriksa laras bedhil yang panjang. Kalau dalam pemeriksaan
terdapat pasir, si murid akan digampar oleh pelatih. Mandi hanya
sebentar ramai2, diteruskan makan pagi dengan menu tahu dan tempe. Lalu
semua murid dan guru masuk ruang kelas. Mata pelajaran yang diajarkan
teori perang, teori mengadapi musuh, berkelahi dengan musuh, pertahanan
dll dll. Disambung praktek dilapangan, biasanya dibukit yang tandus. Ada
merayap 1,2,3,4 (dai ichi, dai ni, dai sam, dai yon hoofuku). Lelahnya
bukan main dan tenggorokan kering sekali karena kehausan. Karena tidak
disediakan air minum, para peserta training PETA minum air dari parit
yang ada disitu, airnya jernih carana mengambil airnya dengan memakai
topi/boshi. Herannya tidak ada yang sakit perut. Siang pulang ke barak
untuk makan dan istirahat. Jam 1500 kumpul lagi untuk latihan nyanyi2
dipimpin Chudanco dibantu Shodanco atau Bundanco. Sore baru boleh mandi,
istirahat dan makan malam yang sederhana. Malam ada pelajaran teori
tentang senjata. Setiap malam jam 22.00 ada apel malam, baru boleh
tidur.
Jepang menyerah kepada Sekutu tanggal 14 Agustus 1945. Bala tentara
Jepang di Pati kehilangan semangat. Mereka tidak bernafsu untuk
merintangi pemuda2 Pati yang sedang terbakar semangatnya mengumumkan
kemerdekaan. Para pemuda di Pati sudah tahu bahwa Soekarno-Hatta telah
memproklamasikan Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 di
Jakarta. Dengan bambu runcing dipundak, para pemuda dan rakyat di Pati
keluar kejalanan menyambut kemerdekaan.
Tentara Jepang di Pati berusaha menyelamatkan diri dari dendam rakyat di
Pati dengan jalan mengurung diri didalam asrama. Mereka baru membela
diri apabila diserang oleh pemuda2 dari Pati yang berusaha merampas
senjata mereka. Usaha merampas senjata yang pada mulanya hanya bersifat
perorangan kemudian meningkat menjadi gerakan massa yang lebih teratur.
Polisi2 Pati dibantu murid2 SMP Rondole Pati dan guru2nya, yang pernah
dilatih PETA oleh Jepang, berperan sangat aktif untuk melucuti kesatuan
tentara Jepang dan mengambil senjata, perlengkapan dan alat-alat militer
lainnya. Aksi melucuti dan merebut senjata Jepang di Pati boleh
dikatakan sukses.
Pengalaman dilatih Jepang di PETA berguna pada waktu
perang kemerdekaan ditahun 1945-1950. Para murid dan guru SMP Rondole
Pati bergabung di BKR (Badan Keamanan Rakyat). Ayah saya juga ikut
bergabung di BKR memanggul senjata dan ikut berperang membela
kemerdekaan di Palagan Semarang, Pucakwangi, dan Surakarta. Pejuang SMP Rondole
Murid2 dan semua guru SMP Rondole Pati sangat aktif membela kemerdekaan
dan selalu meminta ditempatkan di front terdepan. Umur rata2 para murid
masih belasan tahun, umur para guru rata2 masih kepala 2, pangkat yang
diberikan bermacam2. Karena sudah pernah dilatih PETA, maka dianggap
sudah terdidik, tidak ada yang sebagai prajurit biasa saja. Pangkatnya
mulai sersan, sersan mayor, letnan paling tinggi kapten. Beberapa
diantara murid meninggal terkena peluru yang ditembakkan tentara Belanda
dan tentara Gurka. Kisah2 heroik ditulis oleh para alumni SMP Rondole
Pati dan dikumpulkan didalam buku saku kecil yang dibagikan setiap ada
pertemuan reuni SMP Rondole.
Murid2 putri SMP Rondole Pati turut berjuang membela kemerdekaan dan
umumnya mereka bekerja dikesehatan bergabung dengan Palang Merah
Indonesia, sebagian murid putri ditempatkan di dapur umum. Mereka
menyatu dan berhubungan erat sehingga mempertebal rasa persaudaraan
diantara pejuang2 muda murid SMP Rondole Pati.
Pertempuran lima hari di Semarang, dimana murid dan guru SMP Rondole
Pati ikut berperang untuk mempertahankan kemerdekaan, berdampak positip
sekali. Ikatan murid dan guru bertambah erat.
Ketika itu ada sekitar 400 orang veteran2 AL Jepang yang pernah
bertempur di Solomon, Pasifik akan dipekerjakan untuk mengubah pabrik
gula Cepiring (30 km sebelah Barat Semarang) menjadi pabrik senjata.
Begitu masuk kota Semarang, tawanan Jepang ini memberontak, bahkan
menyerang tentara Indonesia dan polisi Indonesia yang bertugas mengawal
mereka.
Orang2 Jepang ini melarikan diri dan bergabung dengan Kidobutai
Jatingaleh Semarang, yaitu batalyon Jepang setempat. Mereka bergerak
dengan dalih mencari orang2 Jepang yang tertawan. Ada desas-desus bahwa
cadangan air di Candi diracuni.
Pertempuran mulai pecah dinihari 15 Oktober 1945. Ratusan tentara Jepang
Kidobutai dan ditambah ratusan batalyon Jepang yang sedang singgah di
Semarang, dengan bersenjata lengkap, bertempur melawan ribuan orang
Semarang, gabungan pemuda, TKR dan BKR Semarang yang amat minim
persenjataannya. Sebagian dari kisah heroik rakyat Semarang, sesudah
sholat subuh saudara2 muslim keluar dari masjid Agung Semarang
bersenjatakan keris, tumbak, bambu runcing, pentungan dibawa bertempur,
sebagian besar dari mereka gugur diterjang peluru Jepang.
Pertempuran paling seru terjadi di Simpang Lima, ribuan orang Semarang
bertempur, termasuk puluhan murid2 dan guru SMP Rondole yang datang dari
Pati ikut berperang. Tidak ada rasa takut, karena murid dan guru SMP
Rondole sedang dibakar dengan semangat mempertahankan kemerdekaan.
Setelah lima hari bertempur lalu cease fire. Korbannya luar biasa
banyaknya, ada kira2 2000-an rakyat Semarang gugur dan ada 200 tentara
Jepang yang tewas.
Murid putri dari SMP Rondole Pati ikut perang, mereka bergabung dengan
Palang Merah Indonesia. Mereka menjalankan tugasnya digaris depan
memberi pertolongan kepada korban2 pertempuran. Berkat PMI banyak korban
yang dapat diselamatkan dan sebagian dari mereka dapat kembali ke medan
pertempuran.
Awal tahun 1947 SMP Rondole resmi dipindahkan dari desa Rondole ke kota
Pati. Menempati gedung bekas pabrik rokok yang dimiliki oleh seorang
pengusaha Tionghoa. Pak Giek dengan didukung oleh pejabat Pati waktu
itu, yaitu bapak Bupati, Ketua DPRD, dan pejabat Muspida Pati berusaha
mati-matian agar gedung eks pabrik rokok yang kosong itu bisa dipakai
unutk tempat belajar anak-anak. Namanya diganti dari SMP Rondole menjadi
SMP Negeri Pati. Pak Giek dipercaya untuk menjadi Kepala Sekolah SMP
Negeri Pati yang pertama. Perjuangan Pak Giek dengan dibantu guru-guru
SMP Negeri Pati antara lain bapak Sumadi, bapak Salyo, bapak Peket,
bapak Sudjono, ibu Sutji sungguh tak ternilai, dengan gigih
beliau-beliau berjuang agar gedung bisa dipakai secara permanen.
Kurikulum SMP Negeri Pati pun diperbaharui, pelajaran di kelas lebih
diutamakan. SMP Negeri Pati menjadi sangat populer murid2 berdatangan
dari Pati dan sekitarnya seperti Kudus, Juwana dan Rembang.
Murid2 dari Djuwana dan Rembang setiap pagi berangkat sekolah naik
kereta api uap. Mereka bangun tidur jam 4 pagi untuk bisa naik kereta
api jam 5. Ketika kereta melewati gedung sekolah SMP Negeri 1 Pati,
sebagian dari murid laki2 berani meloncat turun dari kereta yang sedang
berjalan. Murid2 perempuan turun di halte alun-alun, lalu berjalan kaki
kesekolah. Murid lain ada yang naik sepeda dengan ban sepeda biasa dan
lebih banyak yang berjalan kaki.
(di sarikan dari gsumariyono�s Weblog)
matur nuwun pak sumaryono, ngapunten menawi salah mensari cerita penjenengan